Rangkuman Materi Pedagogik Tentang Teori Humanistik untuk Menghadapi AKG
Sunday, October 11, 2020
Comment
cendekiapedia.blogspot.com - Pendidikan kudu memiliki kualitas untuk menghasilkan lulusan yang sanggup menghadapi dinamika perkembangan masyarakat dan teknologi yang begitu pesat.
Di satu sisi teknologi sanggup digunakan untuk membantu selesaikan berbagai masalah, di sisi lain merupakan tantangan yang benar-benar besar bagi dunia pendidikan untuk bertransformasi (Christensen, 1997).
Pendidikan kudu dikelola untuk menghasilkan lulusan yang miliki kecakapan yang dibutuhkan di abad 21, yakni sanggup belajar dan berinovasi, berfikir gawat dan sanggup memecahkan masalah, miliki kreativitas dan juga sanggup berkomunikasi dan berkolaborasi. Siswa kudu menguasai literasi digital meliputi literasi informasi, literasi tempat dan literasi teknologi.
Siswa kudu miliki kecakapan hidup yakni fleksibilitas dan adaptabilitas, inisiatif dan mandiri, sanggup berinteraksi lintas sosial budaya, produktifitas dan akuntabilitas dan juga sikap kepemimpinan dan tanggung jawab.
Di samping hal-hal tersebut, siswa kudu kuat cii-ciri moralnya, layaknya cinta tanah air, miliki nilai-nilai budi pekerti luhur, jujur, adil, empati, penyayang, rasa hormat dan kesederhanaan, pengampun dan rendah hati.
Guna capai seluruh tujuan selanjutnya dibutuhkan pembelajaran yang berkualitas. Ini seluruh jadi tantangan bagi para guru untuk membekali para siswanya dengan berbagai pengetahuan ketrampilan dan sikap, guna mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan di atas.
1. Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik
Selain teori belajar behavioristik dan teori kognitif, teori belajar humanistik terhitung penting untuk dipahami. Menurut teori humanistik, sistem belajar kudu diawali dan dimaksudkan untuk keperluan memanusiakan manusia itu sendiri.
Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari terhadap bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistik benar-benar mementingkan isi yang dipelajari dari terhadap sistem belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak bicara perihal konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, dan juga perihal sistem belajar dalam bentuknya yang paling ideal.
Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik terhadap pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari terhadap pemahaman perihal sistem belajar sebagaimana apa adanya, layaknya yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini pada lain terlihat terhitung dalam pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya perihal belajar berarti atau “Meaningful Learning” yang terhitung tergolong dalam aliran kognitif ini, menyatakan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna.
Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. Faktor impuls dan pengalaman emosional benar-benar penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa impuls dan permohonan dari pihak si belajar, maka tidak dapat berjalan asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang sudah dimilikinya. Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apa pun sanggup dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yakni capai aktualisasi diri, pemahaman diri, dan juga realisasi diri orang yang belajar, secara optimal.
Pemahaman terhadap belajar yang diidealkan menjadikan teori humanistik sanggup memakai teori belajar apa pun asal tujuannya untuk memanusiakan manusia. Hal ini menjadikan teori humanistik berwujud benar-benar eklektik.
Tidak sanggup disangkal ulang bahwa tiap tiap pendirian atau pendekatan belajar tertentu, dapat tersedia kebaikan dan tersedia pula kelemahannya. Dalam makna ini eklektisisme bukanlah suatu sistem dengan melepas unsur-unsur selanjutnya dalam suasana sebagaimana ada atau aslinya. Teori humanistik dapat memakai teori-teori apapun, asal tujuannya tercapai, yakni memanusiakan manusia.
Manusia adalah makhluk yang kompleks. Banyak pakar di dalam menyusun teorinya hanya terpukau terhadap segi tertentu yang tengah jadi pusat perhatiannya.
Dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu tiap tiap pakar lakukan penelitiannya dari sudut pandangnya masing-masing dan beranggap bahwa keterangannya perihal bagaimana manusia itu belajar adalah sebagai keterangan yang paling memadai. Maka dapat terkandung berbagai teori perihal belajar sesuai dengan pandangan masing-masing.
Dari penalaran di atas ternyata bahwa perbedaan pada pandangan yang satu dengan pandangan yang lain kerap kali hanya timbul sebab perbedaan sudut pandangan semata, atau kadang-kadang hanya perbedaan aksentuasi.
Jadi keterangan atau pandangan yang berbeda-beda itu semata-mata keterangan perihal hal yang satu dan serupa dipandang dari sudut yang berlainan. Dengan demikianlah teori humanistik dengan pandangannya yang eklektik yakni dengan cara memakai atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia bukan saja bisa saja untuk dilakukan, tetapi justru kudu dilakukan.
Banyak tokoh penganut aliran humanistik, di antaranya adalah Kolb yang terkenal dengan “Belajar Empat Tahap”, Honey dan Mumford dengan bagian perihal macam-macam siswa, Hubermas dengan “Tiga macam type belajar”, dan juga Bloom dan Krathwohl yang terkenal dengan “Taksonomi Bloom”.
2. Pandangan David A. Kolb terhadap Belajar.
Kolb (1939-sekarang) seorang pakar penganut aliran humanistik membagi tahaptahap belajar jadi 4, yaitu:
a. Tahap pengalaman konkrit
Pada step paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang sanggup atau sanggup mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya. Ia sanggup melihat dan merasakannya, sanggup menceriterakan peristiwa selanjutnya sesuai dengan apa yang dialaminya. Namun dia belum miliki kesadaran perihal hakekat dari peristiwa tersebut.
Ia hanya sanggup merasakan kejadian selanjutnya apa adanya, dan belum sanggup memahami dan juga menyatakan bagaimana peristiwa itu terjadi. Ia terhitung belum sanggup memahami mengapa peristiwa selanjutnya kudu berjalan layaknya itu. Kemampuan inilah yang berjalan dan dimiliki seseorang terhadap step paling awal dalam sistem belajar.
b. Tahap pengamatan aktif dan reflektif
Tahap ke-2 dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang tambah lama dapat tambah sanggup lakukan observasi secara akatif terhadap peristiwa yang dialaminya. Ia mulai berusaha untuk melacak jawaban dan membayangkan kejadian tersebut.
Ia lakukan refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu sanggup terjadi, dan mengapa hal itu kudu terjadi. Pemahamannya terhadap peristiwa yang dialaminya tambah berkembang. Kemampuan inilah yang berjalan dan dimiliki seseorang terhadap step ke dua dalam sistem belajar.
c. Tahap konseptualisasi
Tahap ke tiga dalam peristiwa belajar adalah seseorang sudah mulai berusaha untuk sebabkan abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan prosedur perihal sesuatu yang jadi obyek perhatiannya.
Berfikir induktif banyak dijalankan untuk merumuskan suatu aturan lazim atau generalisasi dari berbagai umpama peristiwa yang dialaminya. Walaupun kejadian-kejadian yang dilihat terlihat berbeda-beda, tetapi miliki komponen-komponen yang serupa yang sanggup dijadikan dasar aturan bersama.
d. Tahap eksperimentasi aktif.
Tahap terakhir dari peristiwa belajar menurut Kolb adalah lakukan eksperimentasi secara aktif. Pada step ini seseorang sudah sanggup mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan ke dalam suasana nyata.
Berfikir deduktif banyak digunakan untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori dan juga konsep-konsep di lapangan. Ia tidak ulang mempertanyakan asal usul teori atau suatu rumus, tetapi ia sanggup memakai teori atau rumus-rumus selanjutnya untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya, yang belum pernah ia jumpai sebelumnya.
Tahap-tahap belajar demikianlah digambarkan oleh Kolb sebagai suatu siklus yang berkesinambungan dan berjalan di luar kesadaran orang yang belajar. Secara teoretis tahap-tahap belajar selanjutnya sebenarnya sanggup dipisahkan, tetapi dalam kenyataannya sistem peralihan dari satu step ke step belajar di atasnya kerap kali berjalan begitu saja susah untuk ditentukan kapan terjadinya.
3. Pandangan Peter Honey dan Alan Mumford terhadap Belajar.
Tokoh teori humanistik lainnya adalah Peter Honey (1937- sekarang) dan Alan Mumford (1933-sekarang). Pandangannya perihal belajar diilhami oleh pandangan Kolb perihal tahap-tahap belajar di atas.
Honey dan Mumford menggolonggolongkan orang yang belajar ke dalam empat macam atau golongan, yakni group aktivis, golongan reflektor, group teoritis dan golongan pragmatis. Masing-masing group miliki karakteristik yang berbeda dengan group lainnya. Karakteristik yang dimaksud adalah:
a. Kelompok aktivis.
Orang-orang yang terhitung ke dalam group aktivis adalah mereka yang puas melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kesibukan dengan tujuan untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.
Orang-orang type ini ringan diajak berdialog, miliki analisis terbuka, menghormati pendapat orang lain, dan ringan yakin terhadap orang lain. Namun dalam lakukan sesuatu tindakan kerap kali kurang pertimbangan secara matang, dan lebih banyak didorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri.
Dalam kesibukan belajar, orang-orang demikianlah puas terhadap hal-hal yang sifatnya penemuan-penemuan baru, layaknya analisis baru, pengalaman baru, dan sebagainya, agar metode yang sesuai adalah gangguan solving, brainstorming. Namun mereka dapat cepat jenuh dengan kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan waktu lama.
b. Kelompok reflektor.
Mereka yang terhitung dalam group reflektor mempunyai kecenderungan yang berlawanan dengan mereka yang terhitung group aktivis. Dalam lakukan suatu tindakan, orang-orang type reflektor benar-benar berhati-hati dan penuh pertimbangan.
Pertimbangan-pertimbangan baik-buruk dan untung-rugi, tetap diperhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang-orang demikianlah tidak ringan dipengaruhi, agar mereka condong berwujud konservatif.
c. Kelompok Teoris.
Lain halnya dengan orang-orang type teoris, mereka miliki kecenderungan yang benar-benar kritis, puas menganalisis, tetap berfikir rasional dengan memakai penalarannya. Segala sesuatu kerap dikembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum.
Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subyektif. Dalam lakukan atau memutuskan sesuatu, group teoris penuh dengan pertimbangan, benar-benar skeptis dan tidak menyukai hal-hal yang berwujud spekulatif. Mereka terlihat lebih tegas dan mempunyai pendirian yang kuat, agar tidak ringan tergoda oleh pendapat orang lain.
d. Kelompok pragmatis.
Berbeda dengan orang-orang type pragmatis, mereka miliki sifat-sifat yang praktis, tidak puas berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil, dan sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu yang nyata dan sanggup dilaksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat terkecuali sanggup dipraktekkan.
Teori, konsep, dalil, sebenarnya penting, tetapi terkecuali itu seluruh tidak sanggup dipraktekkan maka teori, konsep, dalil, dan lain-lain itu tidak tersedia gunanya. Bagi mereka, susuatu adalah baik dan bermanfaat terkecuali sanggup dipraktekkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
4. Pandangan Jurgen Habermas terhadap belajar.
Tokoh humanis lain adalah Hubermas (1929-sekarang). Menurutnya, belajar baru dapat berjalan terkecuali tersedia jalinan pada individu dengan lingkungannya.
Lingkungan belajar yang dimaksud di sini adalah lingkungan alam maupun lingkungan sosial, sebab pada keduanya tidak sanggup dipisahkan. Dengan pandangannya yang demikian, ia membagi type belajar jadi tiga, yaitu; 1) belajar teknis ( technical learning), 2) belajar praktis ( practical learning), dan 3) belajar emansipatoris (emancipatory learning). Masing-masing type miliki cirriciri sebagai berikut:
a. Belajar Teknis ( technical learning)
Yang dimaksud belajar teknis adalah belajar bagaimana seseorang sanggup berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar. Pengetahuan dan ketarampilan apa yang dibutuhkan dan kudu dipelajari agar mereka sanggup menguasai dan mengelola lingkungan alam sekitarnya dengan baik. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu alam atau sain benar-benar dipentingkan dalam belajar teknis.
b. Belajar Praktis ( practical learning)
Sedangkan yang dimaksud belajar praktis adalah belajar bagaimana seseorang sanggup berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yakni dengan orang-orang di sekelilingnya dengan baik. Kegiatan belajar ini lebih mengutamakan terjadinya jalinan yang selaras antar sesama manusia.
Untuk itu bidang-bidang pengetahuan yang terjalin dengan sosiologi, komunikasi, psikologi, antrophologi, dan semacamnya, benar-benar diperlukan. Sungguhpun demikian, mereka yakin bahwa pemahaman dan ketrampilan seseorang dalam mengelola lingkungan alamnya tidak sanggup dipisahkan dengan keperluan manusia terhadap umumnya. Oleh sebab itu, jalinan yang benar pada individu dengan lingkungan alamnya hanya dapat terlihat dari kaitan atau relevansinya dengan keperluan manusia.
c. Belajar Emansipatoris (emancipatory learning).
Lain halnya dengan belajar emansipatoris. Belajar emansipatoris mengutamakan usaha agar seseorang capai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi dapat terjadinya pergantian atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya.
Dengan pengertian demikianlah maka dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan dan juga sikap yang benar untuk membantu terjadinya transformasi kultural tersebut. Untuk itu, ilmu-ilmu yang terjalin dengan budaya dan bhs benar-benar diperlukan. Pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural inilah yang oleh Habermas diakui sebagai step belajar yang paling tinggi, sebab transformasi kultural adalah tujuan pendidikan yang paling tinggi.
5. Pandangan Benjamin Samuel Bloom (1913-1999) dan David Krathwohl (1921-2016) terhadap Belajar.
Selain tokoh-tokoh di atas, Bloom dan Krathwohl (1956) terhitung terhitung penganut aliran humanis. Mereka lebih mengutamakan perhatiannya terhadap apa yang kudu dikuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar), sesudah lewat peristiwaperistiwa belajar.
Tujuan belajar yang dikemukakannya dirangkum ke dalam tiga kawasan yang dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom. Melalui taksonomi Bloom inilah sudah sukses beri tambahan inspirasi kepada banyak pakar pendidikan dalam mengembangkan teori-teori maupun praktek pembelajaran. Pada tataran praktis, taksonomi Bloom ini sudah membantu para pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan-tujuan belajar yang dapat dicapai, dengan rumusan yang ringan dipahami. Berpijak terhadap taksonomi Bloom ini pulalah para praktisi pendidikan sanggup merancang program-program pembelajarannya. Setidaknya di Indonesia, taksonomi Bloom ini sudah banyak dikenal dan paling terkenal di lingkungan pendidikan. Secara ringkas, ketiga kawasan dalam taksonomi Bloom selanjutnya adalah sebagai berikut:
a. Domain kognitif, terdiri atas 6 tingkatan
b. Domain psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan
c. Domain afektif, terdiri atas 5 tingkatan
C. Aplikasi Teori Belajar Humanistik dalam Kegiatan Pembelajaran
Teori humanistik kerap dikritik sebab susah diterapkan dalam konteks yang lebih praktis. Teori ini diakui lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi dari terhadap bidang pendidikan, agar susah meterjemahkannya ke dalam beberapa langkah yang lebih konkrit dan praktis.
Namun sebab sifatnya yang ideal, yakni memanusiakan manusia, maka teori humanistik sanggup beri tambahan arah terhadap seluruh komponen pembelajaran untuk membantu tercapainya tujuan tersebut.
Semua komponen pendidikan terhitung tujuan pendidikan diarahkan terhadap terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang dicita-citakan, yakni manusia yang sanggup capai aktualisasi diri. Untuk itu, benar-benar kudu diperhatikan bagaimana perkembangan siswa dalam mengaktualisasikan dirinya, pemahaman terhadap dirinya, dan juga realisasi diri.
Pengalaman emosional dan karakteristik tertentu individu dalam belajar kudu diperhatikan oleh guru dalam memiliki rencana pembelajaran. Karena seseorang dapat sanggup belajar dengan baik terkecuali mempunyai pengertian perihal dirinya sendiri dan sanggup sebabkan pilihan-pilihan secara bebas ke arah mana ia dapat berkembang.
Dengan demikianlah teori humanistik sanggup menyatakan bagaimana tujuan yang ideal selanjutnya sanggup dicapai.
Teori humanistik dapat benar-benar membantu para pendidik dalam memahami arah belajar terhadap dimensi yang lebih luas, agar usaha pembelajaran apa pun dan terhadap konteks manapun dapat tetap diarahkan dan dijalankan untuk capai tujuannya. Meskipun teori humanistik ini tetap susah diterjemahkan ke dalam beberapa langkah pembelajaran yang praktis dan operasional, tetapi sumbangan teori ini benar-benar besar.
Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan yang sudah dirumuskannya sanggup membantu para pendidik dan guru untuk memahami hakekat kejiwaan manusia. Hal ini dapat sanggup membantu mereka dalam menentukan komponen-komponen pembelajaran layaknya perumusan tujuan, penentuan materi, penentuan trick pembelajaran, dan juga pengembangan alat evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang dicita-citakan tersebut.
Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara sistematis, step demi step secara ketat, sebagaimana tujuan-tujuan pembelajaran yang sudah dinyatakan secara eksplisit dan sanggup diukur, suasana belajar yang diatur dan ditentukan, dan juga pengalaman-pengalaman belajar yang dipilih untuk siswa, bisa saja saja bermanfaat bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa (Rogers dalam Snelbecker, 1974). Hal selanjutnya tidak seiring dengan teori humanistik.
Menurut teori ini, agar belajar berarti bagi siswa, dibutuhkan inisiatif dan keterlibatan penuh dari siswa sendiri. Maka siswa dapat mengalami belajar eksperiensial (experiential learning).
Pada teori humanistik, guru dikehendaki tidak hanya lakukan kajian bagaimana sanggup mengajar yang baik, tetapi kajian mendlam justru dijalankan untuk menjawab pertanyaan bagaimana agar siswa sanggup belajar dengan baik.
Jigna dalam jurnal CS Canada (2012) mengutamakan bahwa “To learn well, we must give the students chances to develop freely”. Pernyataan ini punya kandungan makna untuk menghasikan pembelajaran yang baik, guru kudu beri tambahan peluang kepada siswa untuk berkembang secara bebas.
Pendidikan modern mengalami banyak pergantian terkecuali dibandingkan dengan pendidikan tradisional. Pada pendidikan modern, siswa memahami hal-hal yang berjalan dalam sistem pembelajaran, hal ini memperlihatkan jalinan dua arah pada guru dan siswa.
Sementara itu, dalm pendidikan tradisional Proses belajar berjalan secara stabil, dimana siswa dituntut untuk memahami informasi lewat buku teks, memahami informasi yang mereka dapatkan tesebut dan memakai informasi terbut dalam kesibukan keseharian siswa. Sedangkan dalam pendidikan modern, siswa memakai teknologi untuk sebabkan kognisi, pemahaman dan sebabkan konten pembelajaran jadi lebih menarik dan lebih berwarna.
Pada penerapan teori humanistic ini adalah hal yang benar-benar baik bila guru sanggup sebabkan jalinan yang kuat dengan siswa dan membantu siswa untuk membantu siswa berkembang secara bebas. Dalam sistem pembelajaran, guru sanggup tawarkan berbagai sumber belajar kepada siswa, layaknya situs-situs website yang membantu pembelajaran. Inti dari pembelajaran humanistic adalah bagaimana memanusiakan siswa dan sebabkan sistem pembelajaran yang menggembirakan bagi siswa.
Dalam prakteknya teori humanistik ini condong mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, dan juga perlu keterlibatan siswa secara aktif dalam sistem belajar.
Penulis @hakimlfc13
Sumber buku waktu kuliah, internet
Di satu sisi teknologi sanggup digunakan untuk membantu selesaikan berbagai masalah, di sisi lain merupakan tantangan yang benar-benar besar bagi dunia pendidikan untuk bertransformasi (Christensen, 1997).
Siswa kudu miliki kecakapan hidup yakni fleksibilitas dan adaptabilitas, inisiatif dan mandiri, sanggup berinteraksi lintas sosial budaya, produktifitas dan akuntabilitas dan juga sikap kepemimpinan dan tanggung jawab.
Di samping hal-hal tersebut, siswa kudu kuat cii-ciri moralnya, layaknya cinta tanah air, miliki nilai-nilai budi pekerti luhur, jujur, adil, empati, penyayang, rasa hormat dan kesederhanaan, pengampun dan rendah hati.
Guna capai seluruh tujuan selanjutnya dibutuhkan pembelajaran yang berkualitas. Ini seluruh jadi tantangan bagi para guru untuk membekali para siswanya dengan berbagai pengetahuan ketrampilan dan sikap, guna mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan di atas.
1. Pengertian Belajar Menurut Teori Humanistik
Selain teori belajar behavioristik dan teori kognitif, teori belajar humanistik terhitung penting untuk dipahami. Menurut teori humanistik, sistem belajar kudu diawali dan dimaksudkan untuk keperluan memanusiakan manusia itu sendiri.
Oleh sebab itu, teori belajar humanistik sifatnya lebih abstrak dan lebih mendekati bidang kajian filsafat, teori kepribadian, dan psikoterapi, dari terhadap bidang kajian psikologi belajar. Teori humanistik benar-benar mementingkan isi yang dipelajari dari terhadap sistem belajar itu sendiri. Teori belajar ini lebih banyak bicara perihal konsep-konsep pendidikan untuk membentuk manusia yang dicita-citakan, dan juga perihal sistem belajar dalam bentuknya yang paling ideal.
Dengan kata lain, teori ini lebih tertarik terhadap pengertian belajar dalam bentuknya yang paling ideal dari terhadap pemahaman perihal sistem belajar sebagaimana apa adanya, layaknya yang selama ini dikaji oleh teori-teori belajar lainnya.
Dalam pelaksanaannya, teori humanistik ini pada lain terlihat terhitung dalam pendekatan belajar yang dikemukakan oleh Ausubel. Pandangannya perihal belajar berarti atau “Meaningful Learning” yang terhitung tergolong dalam aliran kognitif ini, menyatakan bahwa belajar merupakan asimilasi bermakna.
Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya. Faktor impuls dan pengalaman emosional benar-benar penting dalam peristiwa belajar, sebab tanpa impuls dan permohonan dari pihak si belajar, maka tidak dapat berjalan asimilasi pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang sudah dimilikinya. Teori humanistik berpendapat bahwa teori belajar apa pun sanggup dimanfaatkan, asal tujuannya untuk memanusiakan manusia yakni capai aktualisasi diri, pemahaman diri, dan juga realisasi diri orang yang belajar, secara optimal.
Pemahaman terhadap belajar yang diidealkan menjadikan teori humanistik sanggup memakai teori belajar apa pun asal tujuannya untuk memanusiakan manusia. Hal ini menjadikan teori humanistik berwujud benar-benar eklektik.
Tidak sanggup disangkal ulang bahwa tiap tiap pendirian atau pendekatan belajar tertentu, dapat tersedia kebaikan dan tersedia pula kelemahannya. Dalam makna ini eklektisisme bukanlah suatu sistem dengan melepas unsur-unsur selanjutnya dalam suasana sebagaimana ada atau aslinya. Teori humanistik dapat memakai teori-teori apapun, asal tujuannya tercapai, yakni memanusiakan manusia.
Manusia adalah makhluk yang kompleks. Banyak pakar di dalam menyusun teorinya hanya terpukau terhadap segi tertentu yang tengah jadi pusat perhatiannya.
Dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu tiap tiap pakar lakukan penelitiannya dari sudut pandangnya masing-masing dan beranggap bahwa keterangannya perihal bagaimana manusia itu belajar adalah sebagai keterangan yang paling memadai. Maka dapat terkandung berbagai teori perihal belajar sesuai dengan pandangan masing-masing.
Dari penalaran di atas ternyata bahwa perbedaan pada pandangan yang satu dengan pandangan yang lain kerap kali hanya timbul sebab perbedaan sudut pandangan semata, atau kadang-kadang hanya perbedaan aksentuasi.
Jadi keterangan atau pandangan yang berbeda-beda itu semata-mata keterangan perihal hal yang satu dan serupa dipandang dari sudut yang berlainan. Dengan demikianlah teori humanistik dengan pandangannya yang eklektik yakni dengan cara memakai atau merangkumkan berbagai teori belajar dengan tujuan untuk memanusiakan manusia bukan saja bisa saja untuk dilakukan, tetapi justru kudu dilakukan.
Banyak tokoh penganut aliran humanistik, di antaranya adalah Kolb yang terkenal dengan “Belajar Empat Tahap”, Honey dan Mumford dengan bagian perihal macam-macam siswa, Hubermas dengan “Tiga macam type belajar”, dan juga Bloom dan Krathwohl yang terkenal dengan “Taksonomi Bloom”.
2. Pandangan David A. Kolb terhadap Belajar.
Kolb (1939-sekarang) seorang pakar penganut aliran humanistik membagi tahaptahap belajar jadi 4, yaitu:
a. Tahap pengalaman konkrit
Pada step paling awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang sanggup atau sanggup mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana adanya. Ia sanggup melihat dan merasakannya, sanggup menceriterakan peristiwa selanjutnya sesuai dengan apa yang dialaminya. Namun dia belum miliki kesadaran perihal hakekat dari peristiwa tersebut.
Ia hanya sanggup merasakan kejadian selanjutnya apa adanya, dan belum sanggup memahami dan juga menyatakan bagaimana peristiwa itu terjadi. Ia terhitung belum sanggup memahami mengapa peristiwa selanjutnya kudu berjalan layaknya itu. Kemampuan inilah yang berjalan dan dimiliki seseorang terhadap step paling awal dalam sistem belajar.
b. Tahap pengamatan aktif dan reflektif
Tahap ke-2 dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang tambah lama dapat tambah sanggup lakukan observasi secara akatif terhadap peristiwa yang dialaminya. Ia mulai berusaha untuk melacak jawaban dan membayangkan kejadian tersebut.
Ia lakukan refleksi terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana hal itu sanggup terjadi, dan mengapa hal itu kudu terjadi. Pemahamannya terhadap peristiwa yang dialaminya tambah berkembang. Kemampuan inilah yang berjalan dan dimiliki seseorang terhadap step ke dua dalam sistem belajar.
c. Tahap konseptualisasi
Tahap ke tiga dalam peristiwa belajar adalah seseorang sudah mulai berusaha untuk sebabkan abstraksi, mengembangkan suatu teori, konsep, atau hukum dan prosedur perihal sesuatu yang jadi obyek perhatiannya.
Berfikir induktif banyak dijalankan untuk merumuskan suatu aturan lazim atau generalisasi dari berbagai umpama peristiwa yang dialaminya. Walaupun kejadian-kejadian yang dilihat terlihat berbeda-beda, tetapi miliki komponen-komponen yang serupa yang sanggup dijadikan dasar aturan bersama.
d. Tahap eksperimentasi aktif.
Tahap terakhir dari peristiwa belajar menurut Kolb adalah lakukan eksperimentasi secara aktif. Pada step ini seseorang sudah sanggup mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-aturan ke dalam suasana nyata.
Berfikir deduktif banyak digunakan untuk mempraktekkan dan menguji teori-teori dan juga konsep-konsep di lapangan. Ia tidak ulang mempertanyakan asal usul teori atau suatu rumus, tetapi ia sanggup memakai teori atau rumus-rumus selanjutnya untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya, yang belum pernah ia jumpai sebelumnya.
Tahap-tahap belajar demikianlah digambarkan oleh Kolb sebagai suatu siklus yang berkesinambungan dan berjalan di luar kesadaran orang yang belajar. Secara teoretis tahap-tahap belajar selanjutnya sebenarnya sanggup dipisahkan, tetapi dalam kenyataannya sistem peralihan dari satu step ke step belajar di atasnya kerap kali berjalan begitu saja susah untuk ditentukan kapan terjadinya.
3. Pandangan Peter Honey dan Alan Mumford terhadap Belajar.
Tokoh teori humanistik lainnya adalah Peter Honey (1937- sekarang) dan Alan Mumford (1933-sekarang). Pandangannya perihal belajar diilhami oleh pandangan Kolb perihal tahap-tahap belajar di atas.
Honey dan Mumford menggolonggolongkan orang yang belajar ke dalam empat macam atau golongan, yakni group aktivis, golongan reflektor, group teoritis dan golongan pragmatis. Masing-masing group miliki karakteristik yang berbeda dengan group lainnya. Karakteristik yang dimaksud adalah:
a. Kelompok aktivis.
Orang-orang yang terhitung ke dalam group aktivis adalah mereka yang puas melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kesibukan dengan tujuan untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.
Orang-orang type ini ringan diajak berdialog, miliki analisis terbuka, menghormati pendapat orang lain, dan ringan yakin terhadap orang lain. Namun dalam lakukan sesuatu tindakan kerap kali kurang pertimbangan secara matang, dan lebih banyak didorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri.
Dalam kesibukan belajar, orang-orang demikianlah puas terhadap hal-hal yang sifatnya penemuan-penemuan baru, layaknya analisis baru, pengalaman baru, dan sebagainya, agar metode yang sesuai adalah gangguan solving, brainstorming. Namun mereka dapat cepat jenuh dengan kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan waktu lama.
b. Kelompok reflektor.
Mereka yang terhitung dalam group reflektor mempunyai kecenderungan yang berlawanan dengan mereka yang terhitung group aktivis. Dalam lakukan suatu tindakan, orang-orang type reflektor benar-benar berhati-hati dan penuh pertimbangan.
Pertimbangan-pertimbangan baik-buruk dan untung-rugi, tetap diperhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang-orang demikianlah tidak ringan dipengaruhi, agar mereka condong berwujud konservatif.
c. Kelompok Teoris.
Lain halnya dengan orang-orang type teoris, mereka miliki kecenderungan yang benar-benar kritis, puas menganalisis, tetap berfikir rasional dengan memakai penalarannya. Segala sesuatu kerap dikembalikan kepada teori dan konsep-konsep atau hukum-hukum.
Mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subyektif. Dalam lakukan atau memutuskan sesuatu, group teoris penuh dengan pertimbangan, benar-benar skeptis dan tidak menyukai hal-hal yang berwujud spekulatif. Mereka terlihat lebih tegas dan mempunyai pendirian yang kuat, agar tidak ringan tergoda oleh pendapat orang lain.
d. Kelompok pragmatis.
Berbeda dengan orang-orang type pragmatis, mereka miliki sifat-sifat yang praktis, tidak puas berpanjang lebar dengan teori-teori, konsep-konsep, dalil-dalil, dan sebagainya. Bagi mereka yang penting adalah aspek-aspek praktis, sesuatu yang nyata dan sanggup dilaksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat terkecuali sanggup dipraktekkan.
Teori, konsep, dalil, sebenarnya penting, tetapi terkecuali itu seluruh tidak sanggup dipraktekkan maka teori, konsep, dalil, dan lain-lain itu tidak tersedia gunanya. Bagi mereka, susuatu adalah baik dan bermanfaat terkecuali sanggup dipraktekkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia.
4. Pandangan Jurgen Habermas terhadap belajar.
Tokoh humanis lain adalah Hubermas (1929-sekarang). Menurutnya, belajar baru dapat berjalan terkecuali tersedia jalinan pada individu dengan lingkungannya.
Lingkungan belajar yang dimaksud di sini adalah lingkungan alam maupun lingkungan sosial, sebab pada keduanya tidak sanggup dipisahkan. Dengan pandangannya yang demikian, ia membagi type belajar jadi tiga, yaitu; 1) belajar teknis ( technical learning), 2) belajar praktis ( practical learning), dan 3) belajar emansipatoris (emancipatory learning). Masing-masing type miliki cirriciri sebagai berikut:
a. Belajar Teknis ( technical learning)
Yang dimaksud belajar teknis adalah belajar bagaimana seseorang sanggup berinteraksi dengan lingkungan alamnya secara benar. Pengetahuan dan ketarampilan apa yang dibutuhkan dan kudu dipelajari agar mereka sanggup menguasai dan mengelola lingkungan alam sekitarnya dengan baik. Oleh sebab itu, ilmu-ilmu alam atau sain benar-benar dipentingkan dalam belajar teknis.
b. Belajar Praktis ( practical learning)
Sedangkan yang dimaksud belajar praktis adalah belajar bagaimana seseorang sanggup berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, yakni dengan orang-orang di sekelilingnya dengan baik. Kegiatan belajar ini lebih mengutamakan terjadinya jalinan yang selaras antar sesama manusia.
Untuk itu bidang-bidang pengetahuan yang terjalin dengan sosiologi, komunikasi, psikologi, antrophologi, dan semacamnya, benar-benar diperlukan. Sungguhpun demikian, mereka yakin bahwa pemahaman dan ketrampilan seseorang dalam mengelola lingkungan alamnya tidak sanggup dipisahkan dengan keperluan manusia terhadap umumnya. Oleh sebab itu, jalinan yang benar pada individu dengan lingkungan alamnya hanya dapat terlihat dari kaitan atau relevansinya dengan keperluan manusia.
c. Belajar Emansipatoris (emancipatory learning).
Lain halnya dengan belajar emansipatoris. Belajar emansipatoris mengutamakan usaha agar seseorang capai suatu pemahaman dan kesadaran yang tinggi dapat terjadinya pergantian atau transformasi budaya dalam lingkungan sosialnya.
Dengan pengertian demikianlah maka dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan dan juga sikap yang benar untuk membantu terjadinya transformasi kultural tersebut. Untuk itu, ilmu-ilmu yang terjalin dengan budaya dan bhs benar-benar diperlukan. Pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kultural inilah yang oleh Habermas diakui sebagai step belajar yang paling tinggi, sebab transformasi kultural adalah tujuan pendidikan yang paling tinggi.
5. Pandangan Benjamin Samuel Bloom (1913-1999) dan David Krathwohl (1921-2016) terhadap Belajar.
Selain tokoh-tokoh di atas, Bloom dan Krathwohl (1956) terhitung terhitung penganut aliran humanis. Mereka lebih mengutamakan perhatiannya terhadap apa yang kudu dikuasai oleh individu (sebagai tujuan belajar), sesudah lewat peristiwaperistiwa belajar.
Tujuan belajar yang dikemukakannya dirangkum ke dalam tiga kawasan yang dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom. Melalui taksonomi Bloom inilah sudah sukses beri tambahan inspirasi kepada banyak pakar pendidikan dalam mengembangkan teori-teori maupun praktek pembelajaran. Pada tataran praktis, taksonomi Bloom ini sudah membantu para pendidik dan guru untuk merumuskan tujuan-tujuan belajar yang dapat dicapai, dengan rumusan yang ringan dipahami. Berpijak terhadap taksonomi Bloom ini pulalah para praktisi pendidikan sanggup merancang program-program pembelajarannya. Setidaknya di Indonesia, taksonomi Bloom ini sudah banyak dikenal dan paling terkenal di lingkungan pendidikan. Secara ringkas, ketiga kawasan dalam taksonomi Bloom selanjutnya adalah sebagai berikut:
a. Domain kognitif, terdiri atas 6 tingkatan
b. Domain psikomotor, terdiri atas 5 tingkatan
c. Domain afektif, terdiri atas 5 tingkatan
C. Aplikasi Teori Belajar Humanistik dalam Kegiatan Pembelajaran
Teori humanistik kerap dikritik sebab susah diterapkan dalam konteks yang lebih praktis. Teori ini diakui lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan psikoterapi dari terhadap bidang pendidikan, agar susah meterjemahkannya ke dalam beberapa langkah yang lebih konkrit dan praktis.
Namun sebab sifatnya yang ideal, yakni memanusiakan manusia, maka teori humanistik sanggup beri tambahan arah terhadap seluruh komponen pembelajaran untuk membantu tercapainya tujuan tersebut.
Semua komponen pendidikan terhitung tujuan pendidikan diarahkan terhadap terbentuknya manusia yang ideal, manusia yang dicita-citakan, yakni manusia yang sanggup capai aktualisasi diri. Untuk itu, benar-benar kudu diperhatikan bagaimana perkembangan siswa dalam mengaktualisasikan dirinya, pemahaman terhadap dirinya, dan juga realisasi diri.
Pengalaman emosional dan karakteristik tertentu individu dalam belajar kudu diperhatikan oleh guru dalam memiliki rencana pembelajaran. Karena seseorang dapat sanggup belajar dengan baik terkecuali mempunyai pengertian perihal dirinya sendiri dan sanggup sebabkan pilihan-pilihan secara bebas ke arah mana ia dapat berkembang.
Dengan demikianlah teori humanistik sanggup menyatakan bagaimana tujuan yang ideal selanjutnya sanggup dicapai.
Teori humanistik dapat benar-benar membantu para pendidik dalam memahami arah belajar terhadap dimensi yang lebih luas, agar usaha pembelajaran apa pun dan terhadap konteks manapun dapat tetap diarahkan dan dijalankan untuk capai tujuannya. Meskipun teori humanistik ini tetap susah diterjemahkan ke dalam beberapa langkah pembelajaran yang praktis dan operasional, tetapi sumbangan teori ini benar-benar besar.
Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan yang sudah dirumuskannya sanggup membantu para pendidik dan guru untuk memahami hakekat kejiwaan manusia. Hal ini dapat sanggup membantu mereka dalam menentukan komponen-komponen pembelajaran layaknya perumusan tujuan, penentuan materi, penentuan trick pembelajaran, dan juga pengembangan alat evaluasi, ke arah pembentukan manusia yang dicita-citakan tersebut.
Kegiatan pembelajaran yang dirancang secara sistematis, step demi step secara ketat, sebagaimana tujuan-tujuan pembelajaran yang sudah dinyatakan secara eksplisit dan sanggup diukur, suasana belajar yang diatur dan ditentukan, dan juga pengalaman-pengalaman belajar yang dipilih untuk siswa, bisa saja saja bermanfaat bagi guru tetapi tidak berarti bagi siswa (Rogers dalam Snelbecker, 1974). Hal selanjutnya tidak seiring dengan teori humanistik.
Menurut teori ini, agar belajar berarti bagi siswa, dibutuhkan inisiatif dan keterlibatan penuh dari siswa sendiri. Maka siswa dapat mengalami belajar eksperiensial (experiential learning).
Pada teori humanistik, guru dikehendaki tidak hanya lakukan kajian bagaimana sanggup mengajar yang baik, tetapi kajian mendlam justru dijalankan untuk menjawab pertanyaan bagaimana agar siswa sanggup belajar dengan baik.
Jigna dalam jurnal CS Canada (2012) mengutamakan bahwa “To learn well, we must give the students chances to develop freely”. Pernyataan ini punya kandungan makna untuk menghasikan pembelajaran yang baik, guru kudu beri tambahan peluang kepada siswa untuk berkembang secara bebas.
Pendidikan modern mengalami banyak pergantian terkecuali dibandingkan dengan pendidikan tradisional. Pada pendidikan modern, siswa memahami hal-hal yang berjalan dalam sistem pembelajaran, hal ini memperlihatkan jalinan dua arah pada guru dan siswa.
Sementara itu, dalm pendidikan tradisional Proses belajar berjalan secara stabil, dimana siswa dituntut untuk memahami informasi lewat buku teks, memahami informasi yang mereka dapatkan tesebut dan memakai informasi terbut dalam kesibukan keseharian siswa. Sedangkan dalam pendidikan modern, siswa memakai teknologi untuk sebabkan kognisi, pemahaman dan sebabkan konten pembelajaran jadi lebih menarik dan lebih berwarna.
Pada penerapan teori humanistic ini adalah hal yang benar-benar baik bila guru sanggup sebabkan jalinan yang kuat dengan siswa dan membantu siswa untuk membantu siswa berkembang secara bebas. Dalam sistem pembelajaran, guru sanggup tawarkan berbagai sumber belajar kepada siswa, layaknya situs-situs website yang membantu pembelajaran. Inti dari pembelajaran humanistic adalah bagaimana memanusiakan siswa dan sebabkan sistem pembelajaran yang menggembirakan bagi siswa.
Dalam prakteknya teori humanistik ini condong mengarahkan siswa untuk berfikir induktif, mementingkan pengalaman, dan juga perlu keterlibatan siswa secara aktif dalam sistem belajar.
Penulis @hakimlfc13
Sumber buku waktu kuliah, internet
0 Response to "Rangkuman Materi Pedagogik Tentang Teori Humanistik untuk Menghadapi AKG"
Post a Comment
PERHATIAN
- Mohon untuk tidak berkomentar dengan bahasa yang kasar, menyebarkan spam dan berbau konten dewasa.
- Berkomentarlah sesuai pembahasan yang terkait konten saja.
- Kalau pun ada keluhan, semisal kesulitan mengunduh file yang ada, maka kamu bisa membaca dahulu step by step caranya.
- Kalau ada link mati/broken link, bisa segera melapor admin dengan kontak media sosial yang dicantumkan (wasap, twitter or fb).
- Semua file yang tersedia gratis tidak diperjual belikan oleh admin.
Semoga selalu bahagia.